Dan ia tau pasti, bagaimana seringnya aku mendaki gunung-gunung itu, tapi baru kali ini dia meminta bunga edelweis dariku. Bahkan tak sempat aku berpikir mengapa tiba-tiba ia meminta bunga itu. Padahal itu tidak pernah ia lakukan sebelumnya.
Seperti biasa aku berangkat bersama teman-teman kampusku. Tujuanku adalah mendaki gunung tertinggi di pulau Jawa, yang mengemban sebuah misi mulia saat itu, membersihkan rutenya. Aku harus ikut, karena aku adalah salah satu panitia acara besar tersebut.
Seperti biasa juga, dia mengantarku sampai stasiun kereta dimana kami akan berangkat menuju
Sesekali aku menoleh kebelakang, memastikan apakah dia masih ada disitu. Nyatanya, dia seperti terpaku di tempatnya berdiri. Tak bergeming sedikitpun. Tatapan matanya tetap kosong. Entah mengapa akupun seperti tersihir oleh tatapan itu.
Aku tau, dia sakit…. Leukimia adalah penyakit yang dapat merenggut nyawanya, kapanpun. Maafkan aku… Terpaksa dia kutinggalkan sendiri dalam kesakitannya. Karena aku tergabung dalam kepanitiaan yang menempatkanku pada posisi Bendahara. Jadi sangatlah tidak mungkin bagiku untuk tidak ikut dalam perjalanan kali ini.
Dalam kencangnya hembusan angin di kereta, aku lambaikan tanganku. Dia tetap tak bergeming. Tak bergeser sejengkalpun dari tempatnya berdiri. Tapi dia tersenyum, senyuman tertulus dan termanis yang pernah kulihat darinya.
Entah mengapa ada rasa aneh menyelimuti dadaku. Sepertinya akan ada yang terjadi setelah ini. Berat sekali aku menginggalkannya dalam kesendirian, dadaku sesak, mataku berkaca-kaca. Mungkin karena aku menghawatirkan kesehatannya, atau …. Aaah… entahlah…. Semuanya kuserahkan kepadaNya.
Sampailah kami di kaki gunung. Berhari-hari kami berjalan, kadang semalam membentangkan tenda untuk mengusir penat, lelah dan lapar yang mendera. Sampai akhirnya berangkat kembali menuju puncak.
Sepanjang pendakian, aku mencari bunga edelweis di lereng-lerengnya. Memang, di situ ada
“Naaahh… Itu dia…Akhirnya aku menemukannya!” Aku bersorak saking gembiranya.
Berhari-hari kami ada di atas gunung. Setelah selesai tugas-tugas kami, tiba waktunya kami pulang ke rumah. Bergejolak rasa di dada, karena aku telah berhasil mendapatkan edelweis untuk kekasihku. Warnanyapun beda seperti biasanya. Rasanya aku ingin terbang menuju rumah, hingga cepat aku sampai kesana. Agar aku tak mendapatkan kemacetan yang sering terjadi di
“Menyingkirlah kalian! Biarkan aku lewat agar aku cepat sampai rumah. Aku ingin memberikan bunga ini untuk kekasihku!”
Tibalah aku di muka rumah. Gembira rasa hatiku, karena aku telah pulang. Mungkin hari ini juga, bunga ini akan kuantarkan kerumah kekasihku. Lalu aku membayangkan betapa senang hatinya jika nanti kubawakan “pesanan”nya ini.
Tapi……
“Nak…. Syukurlah kamu sudah pulang…Kekasihmu telah tiada….” Ucap ibuku terbata-bata dengan airmata yang tak berhenti menetes di pipinya.
“Maksud ibu?
Ya Allaaah…. Kekasihku tercinta telah meninggalkan aku. Itulah arti dari tatapan kosongnya, arti dari senyuman tulus dan manisnya, arti dari lambaian tangannya, yang saat itu telah mengiringi kepergianku.
Bunga edelweis kuning yang kugenggam terjatuh dari tanganku. Aku tak sanggup menggengamnya…. Persendianku melemas, tubuhku melemah. Terduduk aku dilantai rumah. Ransel belum aku tanggalkan. Sepatu belum aku buka. Kepalaku pening, mataku bergenang air, lalu sesaat kemudian air-air itu terjatuh deras membasahi pipiku.
“Ya, Allaah…. Rupanya ini jawabMu. Hitam pekat rasanya duniaku. Kuatkan aku….”
Kuambil lagi bunga edelweis itu, kugenggam erat dengan kedua tanganku agar ia tidak terjatuh lagi. Bukan karena beratnya, tapi karena lunglainya tubuhku setelah mendengar berita duka ini.
“Tunggu aku… Aku
Dengan langkah gontai, aku menuju pusaranya. Disini dia terbaring kaku. Tanah itu masih basah. Baru kemarin dia tiada. Mungkin hari-hari kemarin ia telah lelah menungguku dalam kesakitannya. Ingin kumaki diriku sendiri. Betapa kejamnya aku yang tega meninggalkannya… Maafkan aku….. Aku yang telah meninggalkanmu sendirian dalam derita.
Kupanjatkan doa yang tertulus dari lubuk hati terdalam. Dan kutepati satu permintaannya, “Bunga Edelweis…” Ia jadi saksi betapa aku amat mencintainya. Walaupun kini hanya bisa kusematkan di pusaranya. Tetap kupenuhi janjiku, walau kini kau hanya bisa diam membisu. Hanya angin perlahan meniup telingaku, seolah kekasihku berbisik dan mengucapkan terima kasih di telingaku. Lagi-lagi aku tertunduk dan menangis tanpa mampu berbuat apa-apa lagi.
Aku hanya bisa mempersembahkan bunga edelweiss yang dimintanya. Tapi doa-doa selalu kupanjatkan dengan tulus dan tak pernah putus untuknya. Selalu dan selalu….
“Selamat jalan Kekasih, tunggu aku di pintu surga…..”
moshirini, Kamis, 05 Maret 2009 13:18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar