Kamis, Maret 18, 2010

Arti Sepenggal Cinta



Aku hanyalah pemuda perantau, aku tak punya apa-apa. Harta, apalagi tahta. Hari ini bisa makan saja aku sudah bersyukur sekali. Aku merantau sejak SMP, karena ingin mandiri. Betapa sombongnya aku!

Tapi aku bangga dengan keadaanku sekarang. Aku memang benar-benar mandiri. Dari memasak, mencuci pakaian dan berbenah rumah selalu kukerjakan sendiri. Semua pekerjaan yang dikerjakan oleh orang tua aku kerjakan seorang diri.

Aku menyewa rumah kecil beserta ketiga teman-temanku. Teman-teman senasib sepenanggungan. Ada diantara mereka yang sudah bekerja, sekolah dan kuliah. Sedangkan aku sudah bekerja, walaupun pekerjaanku cuma pegawai kecil. Kami sering berbagi dalam hal moril maupun materiil. Dalam suka dan duka.

Usiaku telah cukup untuk menikah. Aku telah punya seorang kekasih, tapi aku masih belum punya nyali untuk meminangnya. Karena aku masih belum punya apa-apa, belum mapan. Rumahpun belum terbeli, bagaimana mungkin aku mau melamar anak gadis orang?

Tapi aku punya cinta, yang kurasa cukup untuk meminangnya, walaupun cinta tak cukup untuk menghidupi anak istrku kelak. Aku terus berfikir, bagaimana caranya agar pinanganku diterima oleh calon mertuaku nanti dengan gajiku yang pas-pasan ini. Tapi aku yakin, dengan kerja kerasku, aku dapat membahagiakan anak istriku kelak.

Dengan mantap, kubicarakan hal ini kepada kekasihku dan kedua orang tuaku di daerah. Mereka menyambut dengan gembira kabar baik ini. Dan telah kusiapkan baju terbaik yang kubeli di mall terkenal di kotaku. Telah kubayangkan betapa gagahnya aku memakai kemeja berwarna biru itu. Aahh… semoga saja orang tua kekasihku senang dengan sopannya penampilanku dan akan menerima pinanganku nanti.

Hayalanku terus melambung tinggi, karena aku berharap sekali akan diterimanya pinanganku. Dan sampai saat ini aku tak menemui kesulitan yang berarti dengan calon mertuaku itu. Semua berjalan seperti yang kami harapkan. Tak ada pertentangan dalam hubungan kami.

Sampai saat yang kutunggu-tunggu datang. Hari ini adalah hari besar bagiku, karena hari ini orang tuaku akan meminang kekasihku. Kekasih yang telah setia menemaniku dalam 3 tahun ini. Dialah orang yang sangat memahamiku luar dalam, dia tau segala tentang aku. Kelebihan serta kekuranganku. Karena itu aku memilihnya untuk menjadi pendampingku agar tak ada halangan dan rintangan dikemudian hari, karena kami sudah saling memahami satu sama lain.

Deg deg deg…… Berdegup kencang jantungku saat memasuki halaman rumahnya. Rumah mungil nan asri… semoga penghuninya juga se”asri” rumahnya nanti. Maksudku… Semoga saja pinanganku mereka terima!

Ting tong! Suara bel berbunyi merdu, semerdu dan segemuruh hatiku. Mereka menyambutku dengan kaku, tak ada senyum gembira di wajah-wajah yang terbiasa ramah itu. Sekilas terpikir hal-hal yang buruk melintas di benakku. Ada apa gerangan yang telah terjadi? Cepat-cepat kutepis pikiran-pikiran kotorku.

Sambil dalam hati kuberdoa agar tak ada kejadian buruk yang menimpa orang yang sangat kukasihi. Tapi… Ada apa dengan wajah-wajah kaku itu? Tak dapat sedikitpun kupahami apa yang mereka sembunyikan dari wajah-wajah gundah dan mata-mata sedih itu. Duuh… tak dapat kuhela lagi rasa keingintahuanku akan keberadaan kekasihku.

Sambil menikmati teh hangat yang disediakan si mbok, kamipun menyeruput teh hangat itu. Tapi mataku tetap lalang mencari-cari dimana kekasihku berada, kenapa dia tidak juga keluar dari kamarnya?

Kenapa perasaanku jadi kacau seperti ini? Dadaku sesak, ada firasat buruk menghampiriku, walaupun aku bukanlah orang “pintar” sehebat mereka-mereka yang dianugerahi indera keenam, tapi dalam hal ini aku merasakan sesuatu yang entah apa aku tak tau. Yang jelas, ini berkaitan dengan kekasih hatiku.

Dengan rasa penasaran, akupun bertanya kepada ibu dari kekasihku, “Maaf, Bu… Lalanya dimana ya?” Ibu tersenyum pahit sambil menggigit bibir. Lalu beliau berlalu kearah kamar Lala, untuk menjemput kekasihku.

Tak lama berselang, Ibu keluar kamar dengan mendorong kursi roda. Tapi, siapa gadis yang ada di atas kursi roda itu? Gadis itu tertunduk sedih. Dia berkerudung. Bukankah dia Lala, kekasihku? Dunia terasa berputar. Kakiku melemah, seperti tak berpijak di atas tanah.

“Tidaaak….. Lala……!! Ini benar Lalaku…!!” Menangisku bertubi-tubi, tak kuhiraukan semua orang yang ada di sekelilingku. Aku peluk tubuh kurusnya. Kuangkat wajahnya yang pucat. Matanya tak bergeming, pandangannya kosong.

Ya Allah… Aku tak tega menatap mata itu. Mata yang dulu indah dan berbinar, kini sayu karena menanggung derita. Rasanya ingin kuhujam saja pisau kejantungku! Apalah artinya aku kalau kekasihku bisa sampai begini? Bahkan aku tak tau peristiwa ini kapan terjadi. Ampuni aku, ya Allah… Aku tak bisa menjaga calon istriku ini. Beribu sesal tertumpah di dadaku. Tapi, apa dengan menyesali diri semua bisa kembali seperti sedia kala? Tak mungkin.

Ternyata Lala terserempet mobil saat dia mengendarai motor ke kampusnya. Kaki kakannya terseret ke dalam ban mobil dan terlindas kencang. Tulang-tulang kaki kanannya remuk dan penuh darah segar. Lalu supir yang menyerempetnyapun kabur seketika. Ditinggalnya gadisku itu terkapar di tengah jalan raya, sampai akhirnya beberapa tukang ojek menolong dan mengantarkan pualng ke rumahnya.

Dengan beribu sesal yang kian mendera. Aku berfikir, andai saja aku ada di sisinya, aku rela kejadian ini menimpaku saja, jangan dia… Kuambil jarinya, lalu kusematkan cincin yang telah kusiapkan untuknya tepat di jari manisnya. Sambil aku berucap pasti, “Lala, aku ingin melamarmu… Maukah kau menikah denganku dan menjadi ibu dari anak-anakku kelak?”

Mataku berlinang menahan air mata yang ingin tertumpah deras, dadaku bergejolak. Aku ingin teriak sekencang-kencangnya. Mengapa cobaan ini begitu berat! Disaat cinta ini ingin kurajut dengan pasti, Engkau beri cobaan seperti ini.

Tapi… apakah aku tega meninggalkannya seorang diri dalam deritanya? Aku bukanlah seorang pengecut seperti itu. Akan kuhadapi dan kuterima semuanya dengan lapang dada. Cinta kami terlalu besar untuk disia-siakan.

Kembali kudekap tubuh kurusnya, dan aku berkata pasti, “Aku tetap mencintaimu walaupun apa yang terjadi, aku tetap ada disini untukmu, dalam setiap suka dan dukamu..” Lala menangis tersedu-sedu, dia tak kuasa menahan segala haru. Karena besar dan tulusnya cintaku padanya.

Ya Allah… Aku sangat mencintainya dan aku tak akan tega membiarkannya menanggung derita sendiri. Aku akan berbagi dengannya sampai maut menjemput. Izinkan kami melewati segalanya dengan penuh cinta dan kasih. Kuatkan kami, ya Allah…

Tanpa kusadari semua mata diruangan itu memandang kami berdua berpelukan dan menangis bersama. Dari mata-mata merekapun mengalir aliran bening. Mereka semua menangis, tapi mereka juga tersenyum. Tersenyum akan tulusnya cinta milik kami berdua….



moshirini, Bekasi, 140509…..

3 komentar:

Yuniarti Kevbran mengatakan...

So sweet..
Seperti sop cinta, walaupun buah2 tidak utuh, walaupun segala macam rasa bercamburaduk, namun tetap manis dan nikmat untuk dirasakan...

Yuniarti Kevbran mengatakan...

eh sop buah de..
sop cinta kalee..
ah terserah aja deh.. 22 nya juga manis kok..

Rhien mengatakan...

Cinta sejati, apa hare gene masih ada? maybe 1 dari 1000 orang ya?