Kamis, Maret 18, 2010

Ingin Kulihat Senyummu, Bu….

“Bu, aku lapar…. Perutku melilit sekali, mau makan, tapi tak ada apa-apa yang dapat kumakan…” , Yanto berkata lirih kepada ibunya. Mata ibunya memanas. Ingin rasanya ia menangis, kerena tidak tau apa yang harus diperbuatnya untuk memenuhi keinginan anaknya tercinta.


Ditatapnya foto usang suaminya, yang berbingkai lusuh dengan kaca yang setengah terpecah. Hatinya menjerit lirih, “Aah… Andai saja engkau masih ada disini menemaniku, pastinya kejadian seperti ini tidak akan terjadi….”


Matanya tertunduk, ada air bening mengalir perlahan dari matanya yang lelah. Ia menunduk karena tidak ingin Yanto anaknya melihatnya menangisi kematian suami tercintanya. Walau dalam hati terasa pedih tiap hari yang dirasakan, apalagi jika ia memandang bingkai usang yang menghias foto lusuh suaminya.


“Coba kamu pergi kerumah tetangga sebelah, nak… mudah-mudahan ia bisa memberikan hutangan kepada kita, agar hari ini kamu bisa makan… Ibu mau selesaikan dulu baju ini, jika sudah selesai, tolong kamu antar ya? Agar kita mempunyai uang untuk makan hari ini dan besok lagi. Tapi, sekarang kamu pergilah ke tetangga sebelah untuk meminjam uang sekedar untuk makan pagi ini saja….” Kata Ibu.


Ibu beringsut dari tempat tidurnya. Sebenarnya tubuhnya saat itu sedang lemah, kepalanya seolah berputar. Entah sakit apa yang dideritanya. Bagaimana ia bisa tahu apa sakit yang dideritanya jika ke dokterpun ia tak mampu?


“Baiklah. Bu…. Perutku sudah lapar tak tertahankan..” sambil berlari kecil, ia menghambur ke luar rumah dan mengetuk pintu tetangga untuk meminjam uang sekedarnya.


“Bu, maaf….. Ibu menyuruhku untuk meminjam uang sekedar untuk makan pagi ini. Nanti siang setelah Ibu mengantarkan jahitan baju Ibu Narto, uang Ibu akan segera diganti. Tolong kami, Bu……” ucap Yanto setengah memelas memohon iba.


“Jangankan untuk meminjamimu, Yanto, untuk makan ibu dan anak ibu sendiri saja ibu tak ada uang….Maafkan ibu ya, nak?”


Dengan langkah gontai, yanto berjalan menyusuri trotoar. Dia sungguh bingung, apa yang harus dilakukannya? Tubuh mungilnya belum mampu melakukan pekerjaan seperti orang dewasa. Bahkan mungkin mencuci piringpun ia masih perlu memperhatikan dan belajar lagi dari ibunya.


Pening sungguh kepalanya. Rasa lapar terus menerus menerjangnya. Tapi tak ia pedulikan lagi. Kini ia hanya berpikir, bagaimana caranya agar ia dapat menolong ibunya, membawanya ke dokter, sedikitnya membeli obat. Agar cepat sembuh penyakit ibunya.


Sedih hatinya jika teringat keadaan ibunya yang kian hari kian memburuk. Tubuh ibunya demikian ringkih. Penyakit selalu senang menghampirinya, entah mengapa. Padahal kesehatan ibu sangat penting untuk memenuhi nafkah mereka. Yaah… siapa lagi kalau bukan ibu yang menafkahinya? Ayah Yanto telah tiada, meninggalpun juga karena didera penyakit yang tak jelas, karena memang tak pernah diperiksakan ke dokter.


“Ya, Allaah…. Berilah aku rezeki… Agar aku dapat menyembuhkan sakit ibuku, agar ia dapat sehat seperti sediakala…” Ia memanjatkan doa sambil matanya berkaca-kaca.


Karena lelahnya, ia terduduk di pinggir trotoar. Di depan sebuah toko yang telah tutup. Padahal hari belumlah sore. Tapi, karena hujan turun dengan lebatnya, mambuat took-toko tutup lebih awal. Mereka labih memilih menghangatkan diri dengan secangkir the daripada berdiri berjam-ja menunguu pelanggan yang tak kunjung tiba.


Saking lelahnya, iapun terlelap. Topi yang tadi ia pakai untuk melindungi kepalanya dari terik matahari siang ditanggalkannya, lalu diletakkan di samping tubuh kurusnya.


Entah berapa menit atau jam ia telah terlelap disana. Ia terbangun dari tidurnya, “Aaahh… Mengapa aku tidur di sini sementara ibu kesakitan di rumah?”Sambil berdiri perlahan, diambil topi yang tadi dipakainya.


Tiba-tiba, Cring! Cring! “Ada apa ini?” Alangkah terkejutnya dia. Sejumlah uang recehan dan uang kertas berjatuhan dari dalam topi yang hendak dipakainya. “Uang darimana ini?” Ia berfikir keras sambil berkernyit dahinya.


“Mengapa ada uang di topiku?” Berjuta tanya hinggap di kepalanya.


Akhirnya, barulah ia menyadari, bahwa orang-orang yang lewat di sekitar toko tempat dia tertidur tadi, rupanya menaruh kasihan kepadanya. Seorang anak kecil, dekil, tertidur meringkuk di tepi jajaran toko2, disela rinai hujan. Hmmm…. Hati siapa yang tak iba?


“Jadi….. Orang menyangka bahwa aku adalah pengemis?” Ada rasa sedih dan gembira berkecamuk didadanya. Sedih karena ia disangka pengemis, tapi ia juga gembira karena uang yang didapatnya dari belas kasihan orang-orang bisa dipakainya untuk mengobati ibunya yang sedang terbaring sakit. Walaupun uang itu hanya cukup untuk sekedar membeli obat dan makanan untuk ibu dan dirinya saja.


Sambil mengucap syukur yang tak terperi kepada Illahi, matanya berkaca-kaca. Hatinya sangat gembira, tanpa disangka-sangka ia mendapatkan rezeki dari Allah melalui tangan-tangan dermawan itu.


Sambil berlari kecil, ia menuju toko obat kemudian menghambur lagi ke warung nasi. Tak sabar ia menggenggam bungkusan-bungkusan itu untuk segera diberikan kepada ibunya. Alangkah senang ibunya jika dia pulang membawa obat dan makanan.


“Ibu….. Aku datang, Bu….. Aku bawa obat dan makanan untuk Ibu…..” Ibu bangun perlahan dari tempat tidur lusuhnya dan menghampiri anak semata wayangnya. Diberikannya kedua bungkusan itu kepada ibunya dengan perasaan bangga dan bahagia.


Ibu menerima kedua bungkusan itu, lalu bertanya, “Darimana kau dapatkan semua ini, nak?”


“Aku berdoa dengan sungguh-sungguh agar diberikan rezeki untuk membeli obat dan makanan untuk ibu. Aku ingin Ibu cepat sembuh…. Aku ingin melihat ibu tersenyum lagi…”


“Lalu, uang itu darimana?” Ibu bertanya kembali. Akhirnya diceritakanlah semua yang telah terjadi beberapa saat lalu. Dari awal hingga akhir.


Tanpa terasa, meneteslah airmata haru dari ibunya. Dipeluknya tubuh malaikat kecil itu, sambil berbisik lirih ditelinganya “ Ibu sangat menyayangi kamu, nak…Engkau telah memohon kepadaNya. Dan doamu dikabulkan olehNya….”


Ibu dan Yanto berpelukan penuh kasih sayang. Memang cinta tulus seorang ibu sepanjang jaman, tapi cinta seorang anak yang berbakti kepada orang tua juga tak terlukiskan dengan kata-kata.



**Moshirini, Bks, 020409

Tidak ada komentar: