Selasa, Desember 20, 2011

Taburan bunga itu bagai taburan doa-doa kami, untukmu duhai Adikku tercinta.
Tenanglah engkau di alam sana...

Kamis, April 22, 2010

Mie Sudah Menjadi Bubur....

" De, tolong masukin mie ini ya? Mama mau mandi dulu..." kataku kepada anak bungsuku.
" Iya, ma...." dia menjawab dengan manisnya.

Air yang tadi aku masak telah mendidih dan anakku kuminta untuk hanya memasukkan 3 mie instannya saja. Lalu akupun bergegas menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi dan memakai baju kebesaran di rumah, daster, akupun menonton tivi sebentar.

TIba-tiba, terciumlah aroma harum. " Wah... bau apa ini ya? enak sekali..." gumamku.
"Alangkah enaknya makan mie instan panas-panas saat cuaca hujan begini...."

Lalu akupun menuju meja makan, sambil senyum-senyum sendirian membayangkan bagaimana tadi anakku memasak mie ini. Lalu aku buka tudung saji tempat dia menaruh masakannya.

"Waaaakkksss..... apa ini....??"

Sambil terkagum-kagum karena aneh, kupandangi saja mie instan yang telah berubah wujud menjadi bubur mie! Horeee..... Sepertinya gatot semua hayalanku untuk dapat menikmati mie panas di kala hujan ini.

Tak lama kemudian, datanglah suamiku. Dia ikut-ikutan "kagum" dengan pemandangan di depan kami, semangkok besar bubur mie. Hmmm..... Yummy.....

Lalu dia bertanya, "Apa ini ma?"
"Aku juga bingung ini apa. Itu hasil karya anakmu... Judulnya mie telah menjadi bubur. Bukan cuma nasi aja yang jadi bubur! wakakak..." jawabku sambil tertawa dan menelan ludah.

Rumahku, Pohon Jambuku….

Dulu, semasa kecil aku memiliki rumah yang lumayan luasnya. Ada pohon belimbing, jambu air, jambu batu, rambutan dan anggur. Jambu airku jika berbuah lebat, kupastikan semua mata akan memandang dengan kagum. Karena warnanya merah menyala yang melihat pasti akan menelan air liurnya. Tak jarang juga aku menjual buah-buah jambu itu jika ada ibu-ibu yang lewat dan tergiur dengan ranumnya buah jambuku. Hehehe… kecil-kecil udah otak bisnis yak?

Naah…. Tempat mangkal favoritku adalah pohon jambu, karena dahannya yang rindang dan tidak terlalu tinggi. Sering aku dan teman-teman perempuanku naik dan berlama-lama di pohon ini. Karena memang rimbun sekali dahan-dahannya. Jadi kami dapat berlama-lama bercengkrama dan sesekali iseng menimpuki orang-orang yang lewat di depan rumah dengan jambu-jambu kecil lalu sembunyi di balik dahannya sambil cekikikan. Manstabs…. (situ manstabs… sini benjol…!!)

Oneday…, seperti biasa kami kongkow-kongkow di atas pohon jambu. Seperti biasa juga kami timpuki pejalan kaki dengan jambu-jambu kecil hanya untuk mengagetkan mereka. Hehe…. Dasar iseng… Anaknya siapa seeh….

Kadang betah berjam-jam kami duduk di atas pohon. Siang itu matahari tak begitu menyengat, anginpun sejuk silir-silir. Mataku terasa sudah 5 watt…..

Perasaanku koq ada yang ribut2 yah? Padahal aku tengah terbuai oleh sejuknya angin di atas pohon. Aaaah… ada apa siiih….?

Antara sadar dan tidak, aku dengar teriakan orang-orang,“ Rin, bangun! Turun kamu dari atas pohon itu!” Bangun? Memang aku tidur yah? Walah…. Mereka ga bisa lihat orang seneng deh!

Karena kaget, akupun terbangun dari tidurku. Yah, ternyata aku memang tertidur di pohon jambu ini! Sambil mengucek-ngucek mataku dan menunggu sampai nyawaku mengumpul kembali di ragaku, aku tersentak. Ternyata di bawah pohon telah berkumpul ibu, kakak, adik dan beberapa tetanggaku yang menyuruhku turun dari atas pohon sambil berteriak cemas.

Whaaaa….. Alangkah malunya aku! Kemana wajahku akan kutaruh? Semua mata memandangku dengan cemas dan sedikit tergelak. Bayangkan saja, aku tertidur entah berapa jam di atas pohon jambu, sedangkan teman-temanku telah turun entah kapan turunnya mereka. Malu aku di sini sendiri! Dasar temen ga setia kawan! Dibiarkannya aku malu seperti ini sendiri! Hahaha

Sambil cengar-cengir akupun turun perlahan dari atas pohon. Kutelusuri dahan-dahan dengan lihainya. Karena memang track itu jalan naik dan turunku di pohon itu setiap harinya.
Mukaku panas bak kepiting rebus. Rasanya ingin kuambil langkah seribu alias kabur dari hadapan mereka!!

Minggu, April 18, 2010

Ada-ada Saja......

Tadi pagi ada sebuah teriakkan kecil, " Canu... Canu...."
Oooh... ternyata teman anakku yang datang. Tapi kenapa dia berpakaian seragam sekolah? katanya hari ini sekolah diliburkan?

Setengah berlari, akupun membangunkan anakku dari tidurnya. "De, temen kamu dah nyamper tuh... katanya kamu libur?" Sambil mengucek matanya yang masih terasa lengket kelopaknya, diapun berjalan menuju pagar rumah, menghampiri temannya yang sedang santai duduk di sepeda motornya.

Bercakap2lah kedua anak itu, lalu tawa mereka pecah seketika. Kuhampiri anakku yang masuk ke dalam rumah masih dengan tawanya. "kenapa, De?"

"Masa temenku ngajak aku bolos, Ma... "
"Terus.... kamu mau?"
"Ya maulaah...." jawab anakku dengan santainya.
"Lhooo... koq kamu malah mau?"
" Kan sekarang sekolahnya lbur, Mamaaa...."
"Lalu kenapa temenmu koq pake seragam??"
"Mang dia stress, Ma!"

Ha ha ha haaaa.... lalu tawa kami berduapun berderai. Ada-ada aja.....


moshirini, 12042010

Saking Rajinnya……

Duuh... Sudah lama sekali aku tidak mengaji. Rasanya banyak sekali syaitonnirojim yang mengelayuti pundak dan mataku sehingga aku malas melangkah ke taklim dan akan mengantuk jika mendengarkan ceramah agama.

Kubulatkan tekadku untuk mulai rajin mengaji kembali. "Mulai saat ini aku akan rajin mengaji lagi, merdeka!" Walah..... Layaknya pejuang yang ingin maju ke medan perang saja gayaku. Hehehe....

Saat itu adalah saat yang tepat dimana akan kuwujudkan tekadku. Ada tetangga yang anaknya meninggal. Untuk itu diadakanlah pengajian di rumahnya. Tanpa membaca lagi sehelai kertas yang berisi undangan pengajian itu, akupun bertekad untuk datang pada saat nanti.

Tibalah saat itu, aku harus datang, karena aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk "rajin" kembali mengaji. Dengan langkah mantap, kudatangi pengajian itu. Tanpa curiga sedikitpun aku melewati sekumpulan bapak-bapak yang sedang duduk bersila. Kupikir ibu-ibu pastinya duduk di dalam rumah sedangkan bapak-bapak duduk di depan rumah yang sudah dipasangi tenda.

Ketika aku masuk ke rumang dalam rumah itu, tak ada satupun ibu-ibu yang duduk di sana. Lhooo….. koq?? Akupun langsung ambil posisi “agak merapat” ke dalam ruang tamu karena memang yang duduk di luar para bapak semua.

“Perasaan ga enak neeh…..” Sambil membaca surah Yasin dengan tidak konsen samasekali, akupun celingak-celinguk mencari-cari mahluk yang bergender perempuan untuk tempat aku bertanya. Mana yaaa…..

Tak lama kemudian datanglah tetanggaku, keluar dari dapur rumah itu dan duduk di sebelahku. Alhamdulillaaah… akhirnya ada juga mahluk yang namanya “wanita” di sini.
Lalu akupun bertanya dengan berbisik, “Bu, ibu-ibu yang lain pada kemana? Koq ga ada yang datang ya..?” Lalu iapun menjawab, “ Lho… Mbak Rini kenapa datang? Ini kan pengajian khusus bapak-bapak?

Gubraaakk!!! Mukaku langsung memanas bak ditampar Jepang! Pantas tidak ada seorang wanitapun yang ngaji di sini. Rasanya ingin aku pulang saking malunya, tapi bagaimana aku bisa pulang, sedangkan sekumpulan bapak-bapak telah memenuhi ruang depan rumah. Sedangkan sendalku kutaruh di situ. Hah!

Tetanggaku yang baru saja kubisikipun langsung cekikikan menahan tawa karena geli melihatku yang salah tingkah. Akupun lalu berkata, “Ibu koq ga bilang-bilang saya seeeh….?” Dia tidak menjawab dan lagi-lagi hanya tertawa. Hmmm… Puas... puasss….?

Setelah pengajian selesai, akupun setengah berlari pulang ke rumah. Kuceritakan kejadian itu di depan anak dan suamiku. Pecahlah tawa mereka seketika, sementara aku cemberut malu-malu.

Keesokan harinya, tatanggaku yang semalam, lewat depan rumah. Sambil senyum-senyum menggoda iapun berkata, “Makanya… Kalo disuruh orang tua ngaji… yang rajin…. Giliran ngaji malah ga datang, eeeh… pas ngaji bapak-bapak yang ga diundang malah datang! Hahaha…”

Tawakupun berderai tak henti-henti. Antara malu, malu dan malu pastinya! Hiks…hiks…


Moshirini, Bekasi, 17042010

Rabu, April 14, 2010

HANAMI (Memandang Bunga Sakura)


Musim bunga sakura bermekaran atau cherry blossom di Jepang adalah fenomena alam yang sangat indah. Warga Jepang menyambut peristiwa itu dengan penuh keceriaan dan menafsirkan bahwa musim semi telah tiba.

Di Jepang, musim semi identik dengan musim bunga. Antara Maret hingga April bunga-bunga bermekaran mencapai 'puncaknya'. Bukan hanya bunga sakura, beraneka bunga lain juga bermekaran berwarna-warni. Momen itu biasa disusul dengan dibukanya beragam festival bunga di berbagai tempat.
Meski tidak resmi menjadi bunga negara, dalam budaya Jepang, bunga sakura bernilai sakral. Sudah menjadi tradisi sejak zaman Heian, sekitar tahun 794, para petinggi atau aristokrat mengadakan pesta menyambut mekarnya bunga sakura.

Tradisi itu menjadi acara ritual keagamaan di Jepang. Biasa diadakan upacara doa sebelum musim tanam, dengan harapan para petani mendapat sukses besar pada musim panen raya nanti.

Pesta Taman
Sudah menjadi sebuah kultur, seluruh penduduk Jepang menantikan tibanya bunga sakura bermekaran. Mereka antusias memandangi bunga sakura. Menikmati dengan memandangi sakura, disebut hanami.
Suatu menjadi kebiasaan pula, warga Jepang mengadakan pesta taman di bawah pohon bunga sakura, berkumpul reriungan dengan rekan-rekan kerja atau sanak keluarga, makan minum bersama sambil menyanyi. Pesta taman yang meriah itu dinamakan enkai.

Ironisnya, momentum bunga sakura bermekaran yang sangat ditunggu-tunggu itu berlangsung tidak lama. Kurun waktunya singkat saja, sekitar satu minggu sampai sepuluh hari. Setelah itu, petal atau daun bunga yang tipis, yang sangat rentan terkena angin musim semi, akan mulai berguguran.
Pohon bunga sakura itu biasa ditanam berkelompok dalam jumlah besar. Di musim semi, taman-taman itu terlihat indah sekali, bagaikan diselimuti bunga sakura berwarna putih, merah muda (pink), atau kuning muda.

Selalu Diumumkan

Saat mulainya bunga sakura bermekaran sangat sukar diprediksi dengan tepat. Semua tergantung iklim setempat dan dipengaruhi pula oleh faktor alam seperti hujan, angin, dan cuaca.
Secara umum bunga sakura bermekaran dimulai dari daerah selatan yang berudara lebih hangat. Di kawasan Okinawa, bunga sakura mulai bermekaran di bulan Januari.

Iklim panas itu merambat ke daerah utara. Di kawasan Hokkaido, di daerah paling utara, bunga sakura baru mekar pada bulan Mei. Di kawasan Tokyo dan sekitarnya pada akhir Maret dan awal April. Di daerah pegunungan yang berudara lebih dingin, bunga sakura akan mekar belakangan.

Untuk memenuhi hasrat warganya, setiap hari Badan Meteorologi Jepang melalui media elektronik maupun cetak, mengumumkan secara luas berita perkembangan iklim dan prakiraan tibanya musim bunga sakura untuk setiap daerah. Dengan begitu, penduduk dapat merencanakan dengan tepat waktu dan lokasi untuk hanami dan pesta enkai.

Berkelompok

Bunga sakura biasa ditanam berkelompok. Saat berbunga, semua pohon bunga sakura di suatu lokasi akan bermekaran secara bersamaan. Karena pohonnya tidak berdaun, yang terlihat hamparan bunga seluruhnya, lebih-lebih bila bunganya gompiok. Sungguh indah!

Bunga sakura ada lebih dari seratus varietas, mayoritas adalah varietas Somei Yoshino dan Yamazakura. Umumnya jumlah petalnya 5 helai, ada juga yang 20 helai. Yang lebih tebal, biasanya memiliki sekitar 100 helai petal. Bunga sakura dengan lebih dari 5 helai petal disebut yaezakura.

Terbanyak adalah bunga sakura warna merah muda dan putih. Ada juga yang berwarna pink tua dan putih kekuning-kuningan. Warna itu dapat berubah, saat mulai berkembang berwarna putih, kemudian berubah menjadi kemerah-merahan. Yang pasti, bunga sakura di Jepang tidak berubah menjadi buah ceri.

Senin, Maret 22, 2010

Ampuni Kami



Tuhanku,
Tolong dengarkan….

Mungkin kau bosan akan kami
Yang selalu menari di atas kubangan dosa
Tertawa di atap nista

Kala jiwa ini terpuruk
Baru kami merunduk
Tak kuasa menatapMu

Ampuni kami,
Mahlukmu yang paling sempurna
Tapi sarat dengan segala dosa…..

Seikat Edelweis Untuk Kekasih

Lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk saling memahami. Aku dan dia telah bersepakat untuk menikah. Beberapa saat setelah aku menyelesaikan kuliah. Semoga mimpi-mimpiku bersamanya bisa kugapai nanti.

Dan ia tau pasti, bagaimana seringnya aku mendaki gunung-gunung itu, tapi baru kali ini dia meminta bunga edelweis dariku. Bahkan tak sempat aku berpikir mengapa tiba-tiba ia meminta bunga itu. Padahal itu tidak pernah ia lakukan sebelumnya.

Seperti biasa aku berangkat bersama teman-teman kampusku. Tujuanku adalah mendaki gunung tertinggi di pulau Jawa, yang mengemban sebuah misi mulia saat itu, membersihkan rutenya. Aku harus ikut, karena aku adalah salah satu panitia acara besar tersebut.

Seperti biasa juga, dia mengantarku sampai stasiun kereta dimana kami akan berangkat menuju kota terdekat. Hhmmm… ada pandangan kosong dan tak bisa kumengerti. Pandangan itu beda dari biasanya. Entahlah apa arti tatapan itu. Rasanya dalam sekali menusuk relung hatiku.
Sesekali aku menoleh kebelakang, memastikan apakah dia masih ada disitu. Nyatanya, dia seperti terpaku di tempatnya berdiri. Tak bergeming sedikitpun. Tatapan matanya tetap kosong. Entah mengapa akupun seperti tersihir oleh tatapan itu.

Aku tau, dia sakit…. Leukimia adalah penyakit yang dapat merenggut nyawanya, kapanpun. Maafkan aku… Terpaksa dia kutinggalkan sendiri dalam kesakitannya. Karena aku tergabung dalam kepanitiaan yang menempatkanku pada posisi Bendahara. Jadi sangatlah tidak mungkin bagiku untuk tidak ikut dalam perjalanan kali ini.

Dalam kencangnya hembusan angin di kereta, aku lambaikan tanganku. Dia tetap tak bergeming. Tak bergeser sejengkalpun dari tempatnya berdiri. Tapi dia tersenyum, senyuman tertulus dan termanis yang pernah kulihat darinya.

Entah mengapa ada rasa aneh menyelimuti dadaku. Sepertinya akan ada yang terjadi setelah ini. Berat sekali aku menginggalkannya dalam kesendirian, dadaku sesak, mataku berkaca-kaca. Mungkin  karena aku menghawatirkan kesehatannya, atau …. Aaah… entahlah…. Semuanya kuserahkan kepadaNya. 
Sampailah kami di kaki gunung. Berhari-hari kami berjalan, kadang semalam membentangkan tenda untuk mengusir penat, lelah dan lapar yang mendera. Sampai akhirnya berangkat kembali menuju puncak.

Sepanjang pendakian, aku mencari bunga edelweis di lereng-lerengnya. Memang, di situ ada padang edelweis, tapi entah mengapa aku tak tertarik dengan bunga edelweis yang “biasa” itu. Aku ingin mencari bunga edelweiss dengan warna lain untuk kekasihku tercinta. Padahal aku tak tau, apakah di gunung ini ada bunga edelweis berwarna lain selain dari bunga edelweis-edelweis biasanya.

“Naaahh… Itu dia…Akhirnya aku menemukannya!” Aku bersorak saking gembiranya. Ada bunga edelweis kuning! Indaaah sekali… Karena takjub dan gembira, aku pamerkan hasil buruanku itu kepada teman-teman. Duuh…sombongnya….

Berhari-hari kami ada di atas gunung. Setelah selesai tugas-tugas kami, tiba waktunya kami pulang ke rumah. Bergejolak rasa di dada, karena aku telah berhasil mendapatkan edelweis untuk kekasihku. Warnanyapun beda seperti biasanya. Rasanya aku ingin terbang menuju rumah, hingga cepat aku sampai kesana. Agar aku tak mendapatkan kemacetan yang sering terjadi di kota besar ini.

“Menyingkirlah kalian! Biarkan aku lewat agar aku cepat sampai rumah. Aku ingin memberikan bunga ini untuk kekasihku!”

Tibalah aku di muka rumah. Gembira rasa hatiku, karena aku telah pulang. Mungkin hari ini juga, bunga ini akan kuantarkan kerumah kekasihku. Lalu aku membayangkan betapa senang hatinya jika nanti kubawakan “pesanan”nya ini.

Tapi…… Ada apa rupanya? Mengapa tampaknya yang kutemui di rumah hanya wajah-wajah sedih? Apakah tidak ada orang yang menanti kepulanganku? Ayah? Ibu? Kakak? Mengapa semua diam? Berdegup rasanya jantungku. Apa yang telah terjadi? Mengapa semua diam membisu?

“Nak…. Syukurlah kamu sudah pulang…Kekasihmu telah tiada….” Ucap ibuku terbata-bata dengan airmata yang tak berhenti menetes di pipinya.

“Maksud ibu? Ada apa, Bu? Apa yang telah terjadi dengannya? Jelaskan, Bu….” Tanpa terasa airmatakupun menetes dengan derasnya, sambil mendengar cerita Ibu.

Ya Allaaah…. Kekasihku tercinta telah meninggalkan aku. Itulah arti dari tatapan kosongnya, arti dari senyuman tulus dan manisnya, arti dari lambaian tangannya, yang saat itu telah mengiringi kepergianku.

Bunga edelweis kuning yang kugenggam terjatuh dari tanganku. Aku tak sanggup menggengamnya…. Persendianku melemas, tubuhku melemah. Terduduk aku dilantai rumah. Ransel belum aku tanggalkan. Sepatu belum aku buka. Kepalaku pening, mataku bergenang air, lalu sesaat kemudian air-air itu terjatuh deras membasahi pipiku.

“Ya, Allaah…. Rupanya ini jawabMu. Hitam pekat rasanya duniaku. Kuatkan aku….”
Kuambil lagi bunga edelweis itu, kugenggam erat dengan kedua tanganku agar ia tidak terjatuh lagi. Bukan karena beratnya, tapi karena lunglainya tubuhku setelah mendengar berita duka ini.

“Tunggu aku… Aku kan tetap menemuimu, mengantarkan bunga edelweis yang kau minta. Aku tak peduli engkau ada dimana…”

Dengan langkah gontai, aku menuju pusaranya. Disini dia terbaring kaku. Tanah itu masih basah. Baru kemarin dia tiada. Mungkin hari-hari kemarin ia telah lelah menungguku dalam kesakitannya. Ingin kumaki diriku sendiri. Betapa kejamnya aku yang tega  meninggalkannya… Maafkan aku….. Aku yang telah meninggalkanmu sendirian dalam derita.

Kupanjatkan doa yang tertulus dari lubuk hati terdalam. Dan kutepati satu permintaannya, “Bunga Edelweis…” Ia jadi saksi betapa aku amat mencintainya. Walaupun kini hanya bisa kusematkan di pusaranya.  Tetap kupenuhi janjiku, walau kini kau hanya bisa diam membisu. Hanya angin perlahan meniup telingaku, seolah kekasihku berbisik dan mengucapkan terima kasih di telingaku. Lagi-lagi aku tertunduk dan menangis tanpa mampu berbuat apa-apa lagi.

Aku hanya bisa mempersembahkan bunga edelweiss yang dimintanya. Tapi doa-doa selalu kupanjatkan dengan tulus dan tak pernah putus untuknya. Selalu dan selalu….

“Selamat jalan Kekasih, tunggu aku di pintu surga…..”




moshirini, Kamis, 05 Maret 2009 13:18      




Jumat, Maret 19, 2010

Batu atau kayu?

Menurut lo, ini batu atau kayu? Atau batu yang udah terkontaminasi ma kayu? Halah.....

Jelas ini kayu, tapi entah kenapa kerasnya sudah seperti batu. Mungkin juga mereka sudah berkolaborasi. Hehehehe....

Mungkin karena batang pohon ini sudah bertahun-tahun bersenyawa dengan air laut dan menjadikan kayu mengeras seperti batu?

Entahlah.....